PATRIOT TARBIYAH - SYEKH ZAKARIA AL-ANSHORI LABAI SATI

Syekh Zakaria al-Anshori Labai Sati adalah seorang ulama yang dilahirkan di Malalo kecamatan Batipuah (sekarang Batipuh Selatan), Tanah Datar tepatnya di daerah Padang Laweh yang terletak kurang lebih satu kilo sebelum pasar Malalo tersebut, yang bertepatan pada tahun 1898 M.

Pada awalnya beliau hanya dikenal dengan panggilan Buyuang dan orang luar Malalo mengenalnya dengan nama Buyuang Malalo, walaupun  nama asli beliau adalah Zakaria.

Beliau mengawali pendidikannya di sekolah formal waktu itu dikenal dengan SR atau Sekolah Rakyat, setelah itu beliau pergi mengaji atau mendalami ilmu agama Islam ke Koto Baru Padang Pajang bersama dengan kakak beliau yang bernama Tuangku Dt. Pangulu Kayo (ayah dari tuangku Muhammad Yunus yang pernah menjadi pimpinan PPTI) dan mareka mendalami ilmu agama di daerah tersebut.

Lalu beliau melanjutkan pendidikan beliau ke daerah Padang Pajang lainnya yaitu daerah Jaho Tambangan, tetapi pada saat itu beliau sudah fashih membaca kitab sehingga beliau pun menjadi murid yang sangat pintar dan menjadi murid kesayangan sang Guru yaitu Syekh Muhammad Jamil Jaho.

Setelah cukup lama beliau menggali ilmu bersama Syekh Muhammad Jamil Jaho beliau pun kembali ke tanah kalahiran beliau untuk mengembangkan ilmu yang beliau dapat di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tepat pada tahun 1930 beliau berinisiatif dan juga dukungan dari masyarakat setempat untuk mendirikan sebuah madrasah yang dikenal dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo).

Beliau memiliki beberapa orang istri dan beberapa orang anak, istri beliau yang pertama adalah Maimunah (almarhumah) dan dikarunia bebepara orang anak, yang kedua adalah Saunah di dua koto suatu daerah yang terletak di atas pasar Malalo dan memiliki 3 orang putri, 1) Nur’aini, 2) Syamsidar, dan 3) Hayatun Nufus.

Istri beliau yang ketiga adalah Jamiah di Padang Laweh   dan memilki 6 orang anak, 1) Izzuddin Dt. Panduko nan Banso (pimpinan pondok sekarang), 2) Mulkhair, 3) Habiburrahman, 4) Syhiruddin, 5) Nailus Sa’adah, dan 6) Azizatul Jannah. Istri beliau yang terakhir adalah Salamah yang berasal dari daerah Aceh dan dikarunia satu orang putri yang bernama Raudhatun Nur dan seoranga putra yang bernama Muhibbuttibri.

Pada tahun 1967 M beliau pergi menunaikan panggilan Allah ke Mekkah yang pada saat itu masih menggunakan kapal. Dalam perjalanan beliau itu beliau sempat singgah di Universitas yang sudah ada di Madinah al-Munawarah pada saat itu.

Ada beberapa kisah menarik dalam kehidupan beliau yang pernah penulis dengan dan penulis rasa pantas untuk dituangkan ke dalam buku ini, diantaranya:


Tambahan al-Anshari pada nama beliau
Konon ceritanya gelar al-Anshori yang ada di belakang nama beliau itu buan dari orang tua atau sanak keluarga beliau, tetapi diberi oleh sahabat beliau sendiri yang bernama Syekh Muda wali Aceh, atau yang lebih dikenal dengan sebutan buya Aceh.

Cerita ini diawali ketika buya Aceh datang ke Suamatera Barat dan mendatangi daerah-daerah Suamatera Barat yang terkenal tinggi ilmu agamanya, dan akhirnya buya Aceh sampai ke Madrasah Tarbiyah  Islamiyah Jaho pada  tahun 1940-an.


Di malam harinya buya Aceh berkumpul dengan para santri senior dan terjadi aksi tanya jawab yang cukup tegang antara Buya Aceh dengan para santri Tarbiyah Islamiyah Jaho sampai akhirnya ada satu pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa mereka jawab pada saat itu. Pertanyaan tersebut mengenai masalah yang ditemui oleh Buya Aceh dalam suatu kitab yang menerangkan bahwa “ketika hari raya ID jatuh pada hari Jum’at dan orang sudah melakukan sholat ID, maka orang tersebut tidak perlu sholat Jum’at lagi, cukup sholat Dzuhur saja”.


Pada pagi harinya Inyiak Jaho mengirim sebuah surat pada Buya Labai Sati atau yang dikenal pada saat itu dengan nama Buyuang Malalo.setelah Buya Labai Sati menerima surat tersebut, lalu beliau brangkat dari Malalo, dan di sore harinya Buya Labai Sati sampai di Tarbiyah Jaho, sesudah sholat ‘Isya mereka kembali berkumpul  untuk kembali melanjutkan diskusi/perdebatan yang masih ditunda semajak kemaren malamnya. Dan pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa dijawab itu akhirnya bisa dijawab oleh Buya Labai Sati. Karena perdebatan itu sangat panjang sehingga semua santri Tarbiyah Jaho yang ada di ruangan itu tertidur.


Karena tidak ada yang bertanya lagi, maka Buya Labai Sati memberikan satu pertanyaan kepada Buya Aceh, karena hal inilah nama Buya Labai Sati menjadi Syekh Zakaria al-Anshari yang langsung diberikan oleh Syekh Muda Wali sendiri.

Dan semenjak pertemuan itulah Buya Labai Sati dan Buya Aceh menjadi sahabat yang sangat dekat, sehingga suatu ketika ada orang dari Maninjau yang membatalkan kajian tarekat,  mereka berdualah yang diutus oleh Buya Jaho untuk meluruskan masalah yang dikemukakan oleh orang Maninjau tersebut.

Kebersamaan beliau dengan buya Aceh juga berdampak pada kebiasaan biliau yang akhirnya berubah karena buya Aceh ini yaitu dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Awalnya buya Labai Sati melaksanakan Puasa terakhir sebagaimana kebanyakan orang Malalo pada saat itu. Namun hal ini tidak pernah dibantah oleh Buaya Aceh, karena rasa toleransi (tasamuah) mereka antara satu dengan yang lainnya sangat tinggi yang sangat kental dalam konsep ahlussunnah wal jama’ah.


Suatu ketika akan memasuki bulan ramadhan Buya Aceh mengajak Buya Labai Sati untuk melihat Hilal ke Padang, sesampainya di Indaruang Padang, ketika waktu matahari tenggelam, dan pada saat itu mereka berdua langsung melihat Hilal sudah ada, sehingga keesokan harinya mereka berpuasa, padahal biasanya Buya Labai Sati puasa terakhir, namun pada waktu itu beliau harus puasa awal, karena beliau sendiri yang melihat Hilal pada sorenya. Begitu juga juga saat menentukan awal syawal beliau kembali diajak oleh Buya Aceh untuk melihat hilal dan kejadian semula kembali beliau lihat. Sehingga selama tiga tahun berturut-turut selalu begitu dan akhirnya Buya Labai Sati menghilangkan kebiasaan lama beliau yang pergi melihat Hilal setelah orang puasa, namun setelah kejadian itu beliau selalu melihat Hilal sebelum orang berpuasa.


Mereka berdua juga pernah pergi menemui Buya Sidi Talau di Pariaman seorang ulama Syaktari, di sana mereka membahas suatu kajian tentang Khutbah. Permasalahannya adalah mengenai khutbah bahasa Arab dan bahasa Indonesia, menurut keterangan yang ada dalam kitab Mahalli mengatakan (لايكفي بغير العربية) tidaklah syah selain dengan bahasa Arab. Namun walupun begitu beberapa kalimat setelah dituskan لايضر غير العربية في غير الاركان و.

Sedangkan menurut Buya Labai Sati dan Buya Aceh tujuan khutbah tersebut adalah menasehati jama’ah agar meningkatkan ketaqwaan, apabila semuanya isi khutbah tersebut disampaikan dengan bahasa Arab, dan tidak semua orang yang mengerti dengan bahasa Arab, sehingga tujuan awal khutbah tersebut tidak tercapai. Maka atas pertimbangan mereka berdua, mereka mengambil kesimpulan bahwa rukun khutbah tersebut tetap harus bahasa Arab,dan isinya boleh bahasa indonesia.

Namun sebelum duduk antara dua khutbah rukun Khutbah yang pertama juga harus diulang kembali, supaya ketika khutbah dengan bahasa selain bahasa Arab yang tidak boleh menurut ulama Syafi’iyah juga terikuti, karena ketika mengulang membaca rukun khutbah pertama tersebut maka tidak ada lagi diselingi denga bahasa lain, maka khutbah  menjadi utuh dengan  bahasa Arab. Begitu hati-haitnya mereka dalam mengambil hukum.


Namun walaupun mereka telah menjadi teman yang akrab, mereka tidak menganggap kalau mereka adalah sahabat, mereka selalu menganggap guru antara satu dengan yang lainnya. Karena menurut Buya Labai Sati Buya Acehlah gurunya, sedangkan menurut Buya Aceh Buya Labai Satilah Gurunya.


Terdampar di Pulau Dun-dun
Hari Jum’at tahun 1968 ruangan tempat belajar santri Madrasah Tarbiyah Islamiyah rusak parah karena dihantam angin yang sangat dahsat, waktu itu adalah sebelum ujian kenaikan kelas. Karena kondisi madrasah yang tidak memungkinkan lagi dan memerlukan perbaikan total yang jelas membutuhkan dana yang lumayan besar, maka buya Labai Sati berinisiatif untuk berangkat ke Aceh untuk mencari dana yang dibutuhkan tersebut.


Setelah beberapa hari di Aceh beliau pun hendak kembali pulang ke Padang Laweh, namu ketika sampai di pelabuhan kapal yang rencananya akan beliau tumpangi rusak dan beliau sudah memiliki perasaan yang tidak enak, sehingga beliau kembali turun dari kapal tersebut, nama kapal tersebut adalah KM. KEMPERTISA.  Namun selang beberapa saat beliau pun dijemput oleh awak kapal dan mengatakan bahwa kapal sudah selesai diperbaiki dan sudah bisa untuk berlayar. Akhirnya beliau berangkat sore itu dengan tujuan Sumatera Barat.


Ketika kapal sudah sampai ditengah laut cuaca menjadi mendung, selang beberapa saat hujan turun yang disertai dengan angin. karena KM. Kempertisa bukanlah kapal yang besar sehingga kapal tersebut menjadi oleng. Karena takut kapal akan tenggelam kapten kapal meminta kepada para penumpang agar semua barang dibuang ke laut untuk mengurangi beban kapal. Karena cuaca yang tidak juga membaik akhirnya kapal tersebut terdampar disebuah pulau karang yang bernama pulau Dun-dun.


Tetapi disaat itulah terjadi keajaiban dimana setiap kali mereka merasa lapar menepilah ikan-ikan yang dengan mudah mereka tangkap, lalu ikan-ikan itulah yang mereka bakar dan mereka makan selama satu minggu mereka di sana. Karena mereka sudah merasa resah maka sang kapten bertanya kepada Buya Labai Sati, lalu pada jam 10.00 malam Buya melaksanakan sholat istikarah. Setelah beliau sholat istikarah beliau mengatakan bahwa akan datang bantuan  sebuah kapal besar yang bagus kepada kapten tersebut.


Besok paginya mereka melihat sebuah titik hitam kecil di tengah laut, pada jam 07.00 beliau kembali melaksanakan sholat istikarah sekali lagi, setelah sholat beliau mengatakan bahwa bantuan akan datang, namun setelah sampai jam 12.00 titik tersebut belum berubah atau bergerak juga, sehingga para penumpang yang lain mencemoohkan beliau. Beberapa saat setelah itu, barulah titik tersebut mendekat dan berubah bentuk menjadi sebuah kapal besar yang bernama kapal LENGKENG.


Setelah kapal besar tersebut menepi dan mereka naik kepal tesebut, lalu mereka bertanya kepada awak kapal Lengkeng ini, ternyata kapal ini dari Jakarta hendak pergi Sibolga, lalu awak kapal Lengkeng ini melihat ada sebuah bendera merah yang mengapung, ketika mereka ingin mengambilnya mereka mengalami kesusahan, karena bendera tersebut diapit oleh dua buah drum dan selalu didorong oleh arus kapal sehingga mereka susah untuk mengaambilnya, hal inilah yang menyebabkan mereka lama ditengah laut yang dilihat oleh para penumpang yang terdampar bersama buya Labai Sati tadi. Ketika mereka mendapatkan bendera itu mereka menemukan sebuah tulisan di bagian bawah bendera itu yang mengatakan “Kempertisa terdampar di pulau Dun-dun,” dan di bawahnya tertulis kata  “TOLONG.!!!!”.

Setelah sampai di Sibolga beliau disambut dan diinapkan di sebuah hotel untuk beristirahat karena sudah satu minggu terdampar di pulan Dun-dun. Dan akhirnya buya kembali ke kampung halaman Padang laweh dengan selamat, tetapi pada saat beliau sampai di Padang Laweh, beliau hanya menggunakan celana, jas dan sorban yang beliau kenakan, karena barang beliau yang disuruh lemparkan ke laut oleh kapten kapal kempertisa itu tidak bisa diselamatkan lagi.

Mendapatkan mursyid ditarekat Naqsabandiyah

Syekh Zakaria atau lebih kita kenal dengan nama Buya Labai Sati mendapat atau mencapai derajat mursyid ditarekat Naqsabandi adalah di daerah Pulau Gadang. Pada awalnya beliau tidak hendak menuntut ilmu tarekat ke daerah itu, karena pada saat beliau menyelesaikan studi beliau di Jaho, beliau ingin merantau ke Malaya sebagaimana generasi muda Minangkabau lainnya, pada saat itu beliau tidak seorang diri, karena beliau pergi bersama dengan teman beliau yang bernama Tuangku Harun dari Sumagek Padang Laweh Malalo.


Namun sesampainya di tempat penyeberangan menuju daerah Malaya, beliau mendapat berita dari Kapten kapal yang akan mereka tumpangi itu, bahwa barang siapa yang mengembangkan Ilmu agama Islam untuk mencari uang, maka akan langsung dimsukkan ke dalam penjara oleh Raja setempat. Namun apabila mengembangkan ilmu agama tidak untuk mencari uang, maka akan diterima baik-baik oleh raja Malaya tersebut.

Sehingga setelah mempertingbangkannya bersama dengan sahabat beliau, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk kembali saja ke kampung halaman, karena perasaan beliau sudah merasa tidak enak lagi. Sebat tidak sumua yang beliau pandang baik belum tentu dipandang baik pula oleh masyarakat setempat.
 
Ketika beliau dan sahabatnya hendak kembali ke kampung Halaman, mereka singgah terlebih dahulu di aderah Pulau Gadang yang pada saat itu ada jama’ah yang sedang suluk, sehingga mereka memutuskan untuk ikut suluk terlebih dahulu supaya perjalanan beliau tidak sia-sia. Namun baru beberapa jam bergabung dengan jama’ah suluk, tuangku Harun disuruh pulang oleh Mursyid, karena beliau melanggar suatu aturang suluk tersebut, sehingga tinggallah Buya Labai sati di sana sendirian. Setelah tiga hari melaksanakan suluk, beliau disuruh pulang terlebih dahulu dan disuruh kembali pada bulan haji di tahun itu oleh buya Pulau Gadang. Buya Pulau Gadang merasa bahwa untuk tahap awal bagi beliau, karena buya Pulau Gadang melihat ketekunan dari beliau. Lalu beliau mengikuti saran yang diberikan oleh Mursyid beliau tesebut.


Setelah sampai dikampung halaman beliau kembali belajar di halaqah-halaqah yang sudah ada pada waktu itu dan mengamalkan kajian tarikat yang beliau bisa. Setelah sampai di bulan haji atau bulan Dzulhijjah beliau kembali ke Pulau Gadang untuk melakukan suluk untuk yang kedua kalinya, dan pada suluk yang kedua inilah beliau mampu pada derajad Mursyid, sehingga beliau bisa mengembang ilmu Tarekat Naqsabandiyah di daerah kelahiran beliau sendiri.

Keajaiban saat Beliau meninggal dunia
Kisah ini diceritakan oleh Engku Lasykar Harun yang di dapatnya dari istri beliau yaitu ibuk Nur ‘Aini, anak buya Zakariya sendiri, kata ibuk Nur’Aini buya Zakariya meninggal dua kali, dan buya Zakariyah meninggal bertepatan pada hari Senin jam 4 dini hari 11 Ramadhan 1349 H/8 Oktober 1973 M dalam umur 75 th.


Ketila buya Zakariya Labai Sati meminpin kegiatan suluk di Padang Laweh, di surau beliau, kegiatan ini hampir setiap bulan Ramadhan beliau adakan, karna beliau seorang mursyid dalam Tarekat Naqsabandi yang bisa memimpin dalam kegiatan Tawajjuh (Taqarrub ilallah dengan cara berzikir) dalam ajaran yariqat, dan memimpim di dalam suluk serta membai’at orang yang mau masuk Tareqat Naqsabandi tersebut.


Disaat beliau akan meninggal dunia. Mula-mula terdengar bunyi geruh di kerongkongan beliau oleh murid beliau engku Labai orang Gunung Rajo yang telah diangkat menjadi mursyid oleh buya, setelah bunyi itu hilang, dilihat dan di raba buya oleh Engku Labai, ternyata buya telah tiada, pada waktu itu buya berada di kamar beliau dan diangkat buya keluar dan diletakkan di mihrab surau serta di tutup beliau dengan kain panjang.


Tak lama kemudian beliau duduk sambil berkata kepada orang yang ada didekat didekat beliau, untung saja beliau menyapa ketika duduk itu. Kalau tidak mungkin melihat beliau duduk tanpa menyapa yang melihatnya pada kabur (sambil tertawa engku lasykar bercerita), mendengar sapaan buya jama’a seluruhnya mendekat, jama’ah suluk beserta jama’ah sholat empat puluh, buya bertanya kepada mereka,”ada apa yang terjadi? Murid buya menjawab dan menceritakan kejadiannya bahwasanya tadi waktu buya didalam kamar kami lihat buya sudah tiada, lalu kami bawa buya kesini. Buya berkata” benar katamu lalu buya menyuruh untuk memanggil keluarga beliau yaitu:
1. Gapuak (kakak beliau)
2. Saunah (istri beliau yang di Sumagek)
3. Jami’ah (istri beliau yang di Padang Laweh)
4. Nur’aini (anak beliau atau istri engku Lasykar harun)
5. Salamah (istri beliau yang di Aceh)
Setelah keluarga buya datang, buya menceritakan kejadian yang dialaminya, bahwasanya tadi datang seseorang kepadaku dan berkata kepadaku ”disini buya rupanya, ayo berangkat kita lagi buya (kerahmatullah), ayolah kataku, di dalam perjalanan, aku teringat belum berwasiat kepada orang yang ku tinggalkan, dan sekarang aku berwasiat kapada kalian semua bahwasanya sekolah yang aku dirikan ini tolong jangan kalian tinggalkan dalam arti tolong hidupkan sekolah ini, dijaga dan di rawat.


Setelah itu buya bertanya kepada mereka “apa kalian sudah paham dengan maksudku, mereka menjawab” sudah buya, lalu buya menghembuskan nafasnya yang terakhir, kata Engku Lasykar sendiri beliau beliau meninggal waktu itu dalam keadaan tersenyum.

Dapat penulis pahami dari kisah keberangkatan buya Zakariya ini ke rahmatullah yang begitu menabjubkan, itu semua karna amal kebaikan beliau yang begitu indah di sisi Allah SWT, sehingga malaikat maut sendiri segan kepada beliau. Kalau bukan karena amal kebaikan beliau tak mungkin malaikat maut tersebut menuruti permintaan beliau begitu saja tuk mengembalikan roh beliau yang sudah terpisah dengan jasadnya.

Sumber:  http://ppti-malalo.blogspot.com/

Tidak ada komentar untuk "PATRIOT TARBIYAH - SYEKH ZAKARIA AL-ANSHORI LABAI SATI"